Jakarta, Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan dan hunian dinding beton, serta proyek-proyek komersial pencakar langit merajalela, menyingkirkan kampung-kampung rakyat, dan menegaskan wajah kota yang hanya ramah bagi pemodal.
Kenyataan inilah yang disoroti keras oleh Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Jakarta Raya dalam Focus Group Discussion (FGD) I bertema “Reforma Agraria Perkotaan sebagai Ruang Hidup yang Berkeadaban” di Sekretariat DPP PA GMNI, pada Sabtu (18/10).
“Rakyat Jakarta semakin kehilangan haknya atas ruang hidup. Banyak kawasan padat digusur demi proyek-proyek komersial. Reforma agraria perkotaan harus menjadi prioritas agar pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak,” tegas Ario Sanjaya, Ketua DPD PA GMNI Jakarta Raya.
Bagi Ario, reforma agraria bukan sekadar isu tanah pedesaan, tetapi soal hak hidup dan martabat manusia di perkotaan.
“Ruang kota harus dikembalikan kepada rakyat. Prinsip keadilan sosial Pancasila harus menjadi dasar kebijakan ruang Jakarta ke depan,” katanya.
Sekretaris DPD PA GMNI Jakarta Raya, Miartiko Gea, menegaskan bahwa tanah dan ruang kota adalah hak konstitusional rakyat yang dijamin UUD 1945.
“Hak rakyat atas tanah adalah hak asasi. Pemprov DKJ dan pemerintah pusat harus berani mengambil langkah berkeadilan. Jangan biarkan kota ini menjadi ruang yang ramah bagi modal tapi keras bagi rakyat kecil,” ujarnya.
FGD ini merupakan bagian dari rangkaian menuju Konferensi Daerah (Konferda) V DPD PA GMNI Jakarta Raya, bertema “Menyongsong 500 Tahun Jakarta dan Tantangan Membangun Peradaban Kota.”
Forum ini menjadi ruang konsolidasi pemikiran lintas generasi antara aktivis, akademisi, dan pejabat publik dengan semangat marhaenisme dan keadilan sosial.
Ketua Panitia Konferda V, Lukman Hakim, menyebut forum ini akan digelar dalam empat seri, membahas agraria, tata kelola pemerintahan, kemandirian ekonomi kota, dan layanan sosial.
Anggota DPRD DKI Jakarta, Dwi Rio Sambodo, menilai Jakarta sebagai kota dengan tingkat ketimpangan tertinggi kedua di Indonesia setelah Yogyakarta.
“Jakarta tampak megah tapi timpang. Akar masalahnya bukan sekadar kemiskinan, tapi penguasaan lahan yang tidak adil,” ujarnya.
Ia menyoroti paradigma pembangunan yang dikuasai proyekisme dan egosektoral. “Jalan dibangun, tapi untuk siapa? Banyak infrastruktur justru menghubungkan real estate ke real estate berikutnya,” sindirnya tajam.
Dwi Rio juga menyatakan “Kami berpijak pada semangat UUPA 1960, agar tanah digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya. “Tanah negara harus jelas peruntukannya. Jangan sampai rumah rakyat miskin justru dibeli korporasi,” tegasnya.
Sementara itu, Dedy Rachmadi pengamat tata ruang, mengingatkan pentingnya literasi hukum terhadap UUPA.
“Tanah bukan sekadar aset ekonomi, tapi alat produksi rakyat. Fungsinya sosial, bukan spekulatif,” katanya. Menurutnya, reforma agraria adalah tulang punggung demokrasi ekonomi Pancasila yang seharusnya jadi roh pembangunan kota.
Di tengah arus kapitalisme perkotaan yang menindas ruang hidup rakyat, suara dari FGD PA GMNI ini menjadi pengingat keras bahwa Jakarta bukan milik segelintir. Reforma Agraria Perkotaan bukan sekadar tuntutan teknis, ia adalah seruan moral untuk mengembalikan kota kepada rakyatnya.(D-135)











































Users Today : 20
Users Yesterday : 40
This Month : 473
This Year : 10547
Total Users : 19734
Views Today : 262
Total views : 169579
Who's Online : 1



